Anggota DPRD Hj. Nurlatifah Melanggar UU
oleh: Pancajihadi Al Panji,S.Pd
(Penulis
adalah Pendidik dan Sekjen LSM Kompak Reformasi Karawang)
Hj. Nurlatifah |
KETIKA
penulis membuka blog-spot Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka
Kabupaten Karawang, penulis terkagum-kagum melihat Ketua Kwarcab Karawang
dengan gagahnya penuh wibawa dengan mengenakan baju kebesaran Pramuka, Kak Hajjah Nurlatifah sambil tersenyum “cheez”
yang merupakan ciri khas beliau. Nampak di situs tersebut biodata singkat
sebagai anggota DPRD aktif dan istri dari Bupati Karawang
Haji Ade Swara.Tercantum pula masa jabatan beliau sebagai ketua Kwarcab
periode 2011 – 2016 dengan huruf yang dominan.
Tiba-tiba
muncul dalam benak penulis, merasa ada kejanggalan ketika mengingat UU No 12
tahun 2010 tentang Pramuka yang melarang pengurus kwartir yang terikat jabatan publik. Sementara
Ibu Nurlatifah adalah Anggota DPRD. Keganjilan lain, Ia dipilih jadi ketua Kwarcab pada bulan
April 2011. Artinya UU Pramuka ini
tidak diindahkan padahal UU Pramuka diberlakukan setelah diundangkan, yaitu tanggal 24 November 2010. Lembar Negara
nomor 131.
Jelas bin jelas ini sebuah pelanggaran. Tepatnya pada Pasal 27 (1)Kepengurusan kwartir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dipilih oleh pengurus organisasi gerakan pramuka yang
berada di bawahnya secara demokratis melalui musyawarah kwartir. (2)
Kepengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat dengan
jabatan publik.
Menurut Muhammad Taufik Nasution, Sekretaris Lentera Konstitusi mendefinisikan; pejabat
publik adalah orang yang
menduduki jabatan pada organ pemerintahan atau nonpemerintahan, yang tugas dan
fungsi pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dimana untuk menjalankan
tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari keuangan negara
(APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya.
Definisi
ini ia simpulkan dari UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan
Informasi Publik, UU No. 5/1986 dan UU No. 9/2004 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Ini dapat dikecualikan bila
kepengurusan Pramuka terbentuk sebelum adanya UU Pramuka seperti yang
tercantum dalam Ketentuan Peralihan Pasal 47 Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku: a. organisasi gerakan pramuka dan
organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan yang ada sebelum
Undang-Undang ini diundangkan tetap diakui keberadaannya; b. satuan atau badan kelengkapan dari
organisasisebagaimana dimaksud dalam huruf a tetap menjalankan tugas,
fungsi, dan tanggung jawab organisasi yang bersangkutan; Sebagai contoh meskipun Dede Yusuf menjabat
wakil Gubernur dan dalam kepramukaan menjabat Ketua Kwarda Jabar hal ini dapat
pengecualian karena dia dipilih jadi Ketua Kwarda jauh sebelum adanya UU
Pramuka.
Yang
lucunya lagi, menurut pemberitaan media
massa, pelangagran ini seolah-olah diamini oleh beberapa pejabat. Seperti
pelantikannya oleh Wakil Gubernur Dede Yusuf pada tanggal 27 Mei 2011.
Serta dihadiri para pejabat teras Kabupaten Karawang dan tentu saja bapak
bupati yang ex officio menjabat Kamabicab. Ditingkat
lokal, sebelum muscab rupanya ada dua calon dari pejabat publik yaitu SEKDA
Iman Somantri dan Wakil Bupati dr.Cellica
Nurrachadiana keduanya mundur dari pencalonan dengan alasan kurang etis
bertarung dengan istri Bupati.
Sayangnya
mundur bukan karena ada UU Pramuka yang melarangnya. Sementara pengurus kwarcab
dan kwaran pada waktu itu, sebagai pemilik suara secara aklamasi memilih Ibu
Hajjah Nurlatifah.
Ini
sungguh kejadian yang menggelikan di Republik
ini. Apakah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu. Kemana penasehat dan ahli hukum Karawang.
Ataukah mereka sengaja menjerumuskan pemimpinnya? Dan apa pula kerjanya Kabag Hukum, apakah kerjanya menggoleksi peraturan
perundangan tanpa mempelajarinya?.
Bagaimana
seorang pengurus organisasi kalau dia sendiri tidak tahu aturannya. Ini memberikan implikasi dan spekulasi
yang cukup serius. Apakah pejabat kita bekerja sesuai aturan yang ada atau
aturan yang harus mengikuti mereka?.
Dimanakah rule of law, recht staat dimanakah
kepastian hukum. Bila pejabatnya saja tidak
taat dan tidak tahu hukum bagaimana dengan rakyatnya. Ini berindikasi hanya
ketamakan pada kekuasaan.
Sungguh
terlambat bagi Kak Nurlatifah untuk mengundurkan diri dan sebenarnya tidak
ada istilah mengundurkan diri, sebenarnya karena jabatan
Ketua Kwarcab Karawang dianggap ilegal alias tidak syah dan kosong. Produk yang
dihasilkanpun juga tidak syah. Sebagai anggota DPRD dia harus mempertangung
jawabkan pelanggaran UU ini. Dan Badan Kehormatandan (BK) DPRD Karawang harus
memproses seorang anggotanya yang melanggar
Sumpah Jabatan dan Kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 27 TAHUN 2009 Tentang SUSDUK
dan UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Ini
sesuatu yang harus kita renungkan agar ke depan
kita lebih hati-hati dan bijak dalam mencari figur pemimpin. Jangan hanya karena kenikmatan sesaat kita dibuat malu.