LAHAN-LAHAN PERSAWAHAN itu sudah berubah warna. Dulu membentang seperti karpet hijau. Kini, sejauh mata memandang di Kabupaten Karawang yang ada adalah bangunan-bangunan pabrik dan rumah siap huni.
Lahan pertanian di Kabupaten berjuluk Lumbung Padinya Jawa Barat itu terus tergerus. Kawasan yang dulunya hijau kini berubah warna. Menjadi abu-abu, cokelat, kuning, warna dinding-dinding rumah. Tempat-tempat itu sudah beralih fungsi dari lahan persawahan menjadi industri dan perumahan.
Berkurangnya lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman di Kabupaten Karawang sudah sejak dari dulu terjadi, tapi paling marak antara 2008 sampai sekarang.
Berdasarkan data Dinas
Pertanian tahun 2017, produksi padi Kabupaten Karawang selalu berkurang hingga
1 juta ton pertahun. Penurunan produksi padi sangat membuat khawatir lantaran
Karawang sudah tidak menjadi penghasil padi terbesar di Jawa Barat.
Masyarakat agraris tradisionalis
berubah bersamaan dengan urban pencaker menjadi buruh pabrik di Kawasan industri
Karawang wilayah dengan UMK tertinggi di Indonesia tahun 2021, nilainya sebesar
Rp 4.798.312. Julukan Karawang Lumbung Padi Jawa Barat pun bergeser.
Seiring dengan jumlah produksi
padi Karawang yang menempati urutan keempat di Jawa Barat. Pada tahun 2017 sudah
dikalahkan oleh Kabupaten Indramayu dan Subang.
Pengurangan
lahan persawahan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan, tak heran generasi
muda, mahasiswa, aktivis, dan tokoh masyarakat Karawang memandang penting untuk
melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan, agar tidak terjadi masalah pangan
dikemudian hari.
Diperkirakan luas lahan
pertanian yang kena alih fungsi akan semakin luas dan semakin sulit, persawahan
produktif digilas zona industri dan perumahan dari tahun ke tahun. Faktor
pendukungnya adalah meningkatnya jumlah penduduk, serta gerak pembangunan yang
memang bertumpu pada pembangunan fisik.
Namun tak ada kata terlambat masyarakat Karawang mendorong pemkab Karawang untuk melakukan upaya antisipasi agar tidak ada kendala pada pemenuhan pangan. Dan memang seharusnya ada yang mendorong pemkab serius dalam menangani keberlangsungan ketahanan pangan.
Yang paling penting lagi, untuk mempertahankan lahan produktif pertanian itu tidak perlu mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), apalagi revisi hanya untuk kepentingan ekonomi bisnis kelompok tertentu dengan dalih menyesuaikan pembangunan Nasional.
Jika produksi pangan tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat, maka keadaan itu semakin memburuk ketika lahan pertanian semakin berkurang. Untuk itu generasi muda dan para tokoh masyarakat berkewajiban mengantisipasi lahan persawahan agar tetap dipertahankan.
Meskipun hal itu sangat kompleks, benturan kepentingan akan terus terjadi. Argumentasi terkuat pemerintah daerah mengeluarkan kartu AS peraturan daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Secara umum, Pemkab, DPRD, pengusaha dan rakyat tahu adanya perlindungan lahan pertanian pangan praktis perlu dilakukan. Nyatanya fakta di lapangan luas persawahan di Karawang terus menyusut akibat alih fungsi lahan hinga berdampak pada hasil produksi padi yang terus menurun setiap tahunnya tak terbantahkan.
Sama-sama tahu, perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya masih menemui hambatan.
Data 2017 baru sekitar 215 dari 600-an Kabupaten/Kota yang menetapkan, itu pun karena partisipasi masyarakat yang ketat memperhatikannya. Sebab tidak semua Kabupaten/Kota menetapkan aturan itu. Masyarakat harus ketat memperhatikannya karena persepsi daerah berbeda-beda tafsir tentang UU lahan pertanian yang berkelanjutan, ini yang harus dikawal.
Seringkali yang menghambat pelaksanaan lahan pertanian berkelanjutan itu karena adanya perbedaan persepsi antar pejabat di daerah. Karena Dinas Pertanian itu perangkatnya Bupati seringkali Dinas Pertanian tidak maksimal memberikan masukan, walaupun ini merupakan amanat Undang-Undang.
Sudah lama diprediksi lahan pertanian di Pulau Jawa yang paling banyak beralih fungsi. Di wilayah Jabar, Kabupaten Karawang yang agraris tradisionalis berubah menjadi industrialis modernis yang tercepat. Harap maklum jika Pemkab tidak terlalu memperhatikan UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam menyusun tata ruangnya.
Kenyataan di daerah-daerah sering terjadi dalam proses penyusunan RTRW dan proses lain terkait dengan tanah tidak terlalu memperhatikan UU, sebabnya kalau lahan sawah dibiarkan tetap menjadi lahan sawah dan pertanian saja, otomatis pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak begitu besar.
Tapi dengan mengalihkan lahan pertanian menjadi permukiman dan industri akan lebih mendatangkan keuntungan bagi pemasukan daerah, terutama dari sektor pajak.
Penurunan produksi padi di Karawang tak bisa lepas dari menyusutnya luas lahan sawah. Sampai saat ini, data luas sawah di Karawang belum banyak yang tahu update data terbaru. Tidak transparansi?
Dinas Pertanian Karawang harus mengumumkan catatan terbaru, berapa luas sawah yang tersisa di Karawang, dan mencapai berapa ribu hektare yang terpakai industri dan pemukiman dalam data tahun 2022. Sinkronisasi dengan citra satelit dari Lapan.
Dinas Pertanian harus segera menghitung ulang luas sawah yang tersisa di Karawang, karena banyak pihak meragukan data luas sawah bisa bertambah. Lihatlah perluasan lahan permukiman dan zona industri yang terus tumbuh subur, pasti telah membuat lahan sawah berkurang. Tak heran masyarakat menuntut kepastian transparansi kepada pemerintah.
Selain itu, untuk mengetahui lahan yang tergerus, Dinas Perizinan Pemkab Karawang harus membuka data perizinan pendirian pabrik dan perumahan secara terbuka. Hingga bisa diketahui pihak manapun, hingga bisa diketahui pula yang membuat persawahan di Kabupaten Karawang menyusut.
Sehari
sebelum terjadi demo teman-teman mahasiswa banyak berdiskusi dengan saya,
intinya adalah agenda konsultasi publik yang membahas rancangan peraturan
daerah tentang RTRW yang akan diselenggarakan Pemkab di sebuah Hotel tidak transparan.
Dimanapun berada pembahasan RTRW di suatu daerah pasti akan mendapat sorotan, perhatian masyarakat setempat, karena akan menjadi problem lingkungan, budaya, sosial ekonomi, dan lain-lain bagi komunitasnya.
Pada tahun 2014, Karawang menghasilkan padi sebanyak 1.489.871 ton. Pada 2015, target produksi padi di Karawang sekitar 1,4 juta ton. Pada 2016, target produksi padi ditetapkan sekitar 1,3 juta ton. Setiap tahun grafik angka produksi semakin menurun.
Legislatif dan eksekutif Pemkab
Karawang mungkin bisa lebih bijak dalam menyikapi demo mahasiswa, aktivis dan
kritik tokoh masyarakat. Tak berlebihan jika semua awasi revisi RTRW. Penyusutan
lahan sawah mengancam ketahanan pangan.
Jika persawahan di Karawang menjadi industri dan perumahan
tak terkontrol, apalagi dibeking arogansi kekuasaan, politik dan kepentingan
bisnis. Bisa bikin stok pangan makin terancam.
Penulis adalah pengamat sosial politik, ekonomi dan bisnis tinggal di Karawang