Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada Bab II Pasal 2.
Ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (Satu Miliar Rupiah).
Ayat 2: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Landasan utama dalam tuntutan tersebut, yakni, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Jadi jangan coba-coba untuk melakukan tindak pidana korupsi dalam suasana bencana. Maka tidak ada pilihan lain yaitu tuntutannya pidana mati.
Silang Sengkarut Kasus BTT Rp 50 Miliar di Karawang
Jejak digital Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Karawang Acep Jamhuri menjelaskan, ketersediaan Belanja Tidak Terduga (BTT) Tahun Anggaran (TA) 2021 kian menipis.
TA. 2021 Pemkab Karawang menganggarkan Rp 50 miliar untuk anggaran BTT. Namun, karena pandemi Covid-19 yang masih terus terjadi, membuat anggaran BTT yang dianggarkan Pemkab hanya tersisa sekitar Rp 2 miliar.
“Hingga Maret, alokasi untuk penanganan Covid-19 sudah menghabiskan sekitar Rp 48 miliar dan tersisa sekitar Rp 2 miliar,” kata Sekda, Jumat (05/03/2021).
Sekaligus Sekda menyatakan Pemda sudah mulai keteteran. Malahan meminta warga untuk melakukan tes swab secara mandiri alias pakai uang sendiri tanpa membebankan kepada Pemda. https://kbeonline.id/daerah/karawang/pemkab-ngaku-keteteran-sekda-sebut-anggaran-covid-19-menipis/
Namun pasca ramai pemberitaan dugaan kasus ‘Cashback fee’ sewa Hotel untuk tempat
isolasi pasien Covid-19, yang ‘diduga’ dilakukan oleh oknum pejabat
Dinas Kesehatan (Dinkes) dan oknum Anggota Komisi IV DPRD Karawang. Oknum ambil
keuntungan dengan menerima Upah, fee, balas jasa imbalan menjadi topik
hangat.
Sekda membantah, menurutnya tidak ada atau tidak benar tentang isyu ‘Cashback fee’ sewa Hotel seperti ramai diberitakan media masa. Karena jangankan ‘Cashback fee’, anggaran sewa untuk 7 Hotel tempat isolasi pasien Covid-19 saja belum dibayarkan sampai hari ini.
Sehingga anggaran BTT Rp 50 miliar, sampai saat ini belum digunakan. Adapun mengenai pernyataannya dulu tentang BTT 50 miliar sudah mau habis, itu hanya sekedar perhitungan perkiraan dalam satu tahun anggaran untuk pencegahan dan penanganan Covid-19.
“Gak ada itu ‘Cashback fee’ Hotel, harus jelas dulu ‘Cashback fee’ untuk siapa. Karena semua Hotel yang kita sewa, tenaga dokter dan Nakes belum dibayar sampai saat ini. Kasihan orang-orang di Dinkes. Isyu ini kan sampai memancing alat penegak hukum (APH) harus melakukan pemeriksaan. Seperti bener isyu-nya, padahal tidak ada sama sekali,” tutur Sekda Acep Jamhuri.
Sekda Dianggap Plintat-Plintut Menuai Kritik
Dianggap tidak ajeg, alias pilntat-plintut. Pernyataan Sekda terkait dana BTT Rp 50 miliar itu dikritik Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (J.P.K.P) Kabupaten Karawang.
Menurutnya, pada awal Maret lalu Sekda Acep pernah memberi pernyataan di media bahwa BTT Rp 50 miliar untuk penanganan Covid-19 tersisa Rp 2 miliar. Tapi selang beberapa minggu kemudian, Sekda memberikan pernyataan berbeda 180 derajat, bahwa BTT masih utuh belum digunakan.
“Pernyataan Sekda pada awal Maret itu tidak ada embel-embel perkiraan. Seharusnya selaku pimpinan dan pejabat negara bicaranya jangan plin-plan, karena ini menyangkut uang rakyat,” kata Ketua DPD J.P.K.P Karawang, Bambang Sugeng, seperti dilansir delik.co.id, Minggu (21/03/2021).
Bambang merasa aneh dengan berubahnya pernyataan Sekda pas bersamaan dengan ramainya isyu bergulirnya kasus ‘Cashback fee’ yang kini mencuat jadi omongan publik Karawang. https://delik.co.id/2021/03/21/j-p-k-p-karawang-kritik-pernyataan-sekda-plin-plan-soal-btt-rp50-m/
Polemik Multi Tafsir
Terlepas dari polemik yang jadi perdebatan mengemuka, ada sangkalan ada dukungan terbuka, ada juga saling curiga di DPRD dan opini multi tafsir bergulir. Hingga lebih jauh ada ancaman mogok kerja, demo Nakes. Sejatinya semua itu tidak penting.
Yang penting rakyat Karawang mau dibawa kemana? Ditengah keterpurukan ekonomi dan bisnis, tersandera di pinggir jurang kemiskinan yang mencekik leher, lengkap dengan kantong kosong, perut keroncongan. Rakyat merasa heran, terlongo-longo.
Borjuis feodalis jangan khawatir, rakyat kita tergolong manusia paling tangguh di dunia. Karena nenek moyang mereka itu dulu ‘berpengalaman’ pernah dijajah Belanda dan Jepang; Cultuurstelsel, Tanam Paksa, Rodi, Kerja Paksa, dan Romusha.
Maka segala jenis penderitaan apapun bentuknya bagi rakyat sudah terbiasa. Tidak takut. Masih adakah yang lain yang lebih pahit lagi daripada mendengar duit Covid dan Bansos dikorup penyelanggara negara?
Pejabat dan Imunitas Tingkat Dewa
Membahas soal
pengawasan anggaran penanganan Covid-19, terjadi paradoksal kontradiktif. Banyak yang mempertanyakan materi muatan
Pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 yang kontroversial,
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Covid-19.
Pasal 27 Perppu menyebut biaya penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian bukan kerugian negara dan tindakan pejabatnya kalau dengan itikad baik, menjunjung etika dan moral, maka tidak bisa dituntut/digugat secara pidana/perdata.
Sebagian anggota DPR RI pun menilai ketentuan itu dinilai memberi keistimewaan pejabat tertentu menjadi kebal hukum (imunitas), Perppu seolah melegitimasi, seolah tidak dapat diproses secara hukum. Hingga Perppu ini dianggap mengganjal KPK untuk menindak pejabat yang diduga menyalahgunakan anggaran penanganan Covid-19.
Ada 3 ganjalan dalam Pasal 27 Perppu 1/2020 dianggap bermasalah, karena memberi imunitas bagi pejabat negara yang menggunakan anggaran penanganan dampak Covid-19 dari tuntutan hukum.
Pertama, biaya yang dikeluarkan dalam penanggulangan dampak Covid-19 bukan sebagai kerugian negara. Kedua, pejabat pelaksananya tidak dapat dituntut/digugat. Ketiga, produk kebijakan hukumnya tidak dapat digugat ke PTUN.
Imunitas tingkat Dewa. Semua dikecualikan dalam hukum. Lebih jauh Perppu dianggap kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum.
Begitu pula Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Maka dinilai, rumusan norma Pasal 27 Perppu 1/2020 justru bertentangan dengan konstitusi.
Apakah semua terkait anggaran penanganan Covid-19 bukan persoalan hukum jika ada yang menyalahgunakan?
Respon
KPK menjelaskan polemik Pasal 27 Perppu Covid-19, KPK tetap bisa menindak
pelaku korupsi, karena Pasal 27 Perppu Penanganan Covid-19 tidak menggugurkan
hukum pidana korupsi yang lain.
Bagaimana dengan hukuman mati yang diwacanakan KPK?, rasanya sih terlalu jauh. Masalah moral hazard, pelanggaran etika, curang, tidak bertanggung jawab. Oknum harus terbukti melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Melakukan tindak pidana korupsi dalam suasana bencana, jelas oknum tidak penting moralisme.
Orang seperti itu tidak penting juga, harusnya dengan terpaksa atau sukarela terjun saja ke sungai Citarum dengan batu yang di ikat tali pada lehernya. (***)