Editorial Cartoon

Editorial Cartoon

Pemerintah Daerah Kab. Karawang, Jawa Barat

Pemerintah Daerah Kab. Karawang, Jawa Barat
Kantor Bupati Karawang

Thursday, October 16, 2025

Kasus Pembunuhan Nenek Emot oleh Cucunya di Karawang Tragedi Keluarga yang Hancur


GEGER KASUS pembunuhan sadis mengguncang masyarakat Karawang, Jawa Barat, April 2025 lalu, menjadi salah satu peristiwa tragis yang menyoroti kegelapan di balik ikatan keluarga yang jauh dari ajaran Islam; Sakinah, Mawaddah, Warohmah (Samawa).

Konsep ideal untuk keluarga harmonis yang terdiri dari 3 pilar utama: Sakinah (ketenangan dan ketentraman), Mawaddah (cinta dan kasih sayang), Warohmah (kasih sayang mendalam yang meliputi penerimaan atas kekurangan).

Adalah Nenek Emot, seorang wanita usia 70 tahun yang tinggal di Kampung Pasir Pogor, Desa Kiarapayung, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tewas dibunuh oleh cucunya sendiri, Sopian (inisial SP), yang dibantu oleh temannya, Dilan (inisial NY).

Kejadian ini bukan hanya kehilangan nyawa, tetapi juga pengkhianatan mendalam terhadap darah daging sendiri. Motif utamanya keserakahan terhadap harta, khususnya perhiasan emas milik korban seberat 100 gram.

Kasus ini mengungkap bagaimana faktor ekonomi dan hubungan keluarga yang retak dapat memicu kekerasan ekstrem, sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang kegagalan sistem sosial dalam mencegah tragedi serupa.

Kronologi Peristiwa yang Menghantui

Peristiwa mengerikan itu terjadi pada 29 April 2025 lalu, tepatnya sekitar pukul 12 siang, di kediaman sederhana Nenek Emot. Menurut laporan polisi, Sopian, yang dikenal sebagai cucu kesayangan, datang ke rumah neneknya dengan niat merampok.

Sopian dibantu oleh Dilan, teman dekatnya, yang turut merencanakan aksi biadab tersebut. Saat itu, Nenek Emot sedang berada di kamar mandi ketika Sopian menyerangnya dengan pisau.

Korban berusaha mempertahankan gelang emasnya, tetapi Sopian yang sudah dirasuki Iblis kalap, hingga menusuknya berulang kali sampai Nenek Emot tewas bersimbah darah. Setelah itu, pelaku mengambil perhiasan emas tersebut dan melarikan diri.

Penemuan jasad Nenek Emot dilakukan oleh cucu korban yang lain, yang segera melaporkan kejadian itu. Warga sekitar, termasuk saksi bernama Enang dan Sri Hasanah, bergegas membawa korban ke Puskesmas terdekat, tetapi nyawa Nenek Emot tidak bisa diselamatkan.

Polres Karawang, di bawah komando Kapolres AKBP Fiki Andriansyah, langsung melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan pemeriksaan saksi. Dalam waktu 24 jam, kedua pelaku berhasil diringkus oleh Tim Resmob Anaconda. Sopian dan Dilan mengaku terlibat, dengan Sopian sebagai dalang utamanya.

Barang bukti yang disita termasuk pisau pembunuh dan sisa-sisa emas yang telah dijual, menghasilkan uang sekitar Rp73 juta hingga Rp80 juta, meskipun jumlah tersebut menjadi sorotan karena dugaan hilangnya sebagian dana sebagai barang bukti, hingga kini menjadi polemik baru di pengadilan Karawang.

Motif Keserakahan dan Latar Belakang Pelaku

Di balik aksi sadis ini, motif ekonomi menjadi pendorong utama. Sopian, yang tinggal di lingkungan yang sama dengan neneknya, diketahui mengalami kesulitan finansial. Emot, sebagai nenek yang penyayang sering meminjamkan perhiasannya untuk keperluan keluarga, termasuk kepada Sopian.

Namun, keserakahan membuat sang cucu berubah menjadi Algojo. Menurut pengakuan pelaku selama pemeriksaan, ia tergiur oleh nilai emas 100 gram yang bernilai jutaan rupiah, lalu emas itu dijualnya setelah eksekusi mengerikan terjadi.

Ini bukan sekadar pencurian biasa; kasus ini adalah pembunuhan berencana yang lahir dari hubungan keluarga yang seharusnya penuh kasih sayang dan beradab.

Latar belakang Sopian menambah lapisan tragis pada kasus ini. Sebagai cucu kesayangan, ia sering mendapat perhatian khusus dari Nenek Emot, yang membesarkannya sejak kecil seperti anak sendiri.

Namun, tekanan ekonomi di Karawang, perlu diketahui, Karawang adalah suatu Kabupaten dengan kawasan industri yang penuh kontradiksi antara kemakmuran pabrik dan kemiskinan warga. Mungkinkah telah merusak nilai-nilai budi pekerti luhur, hingga terjadi dekadensi moral, runtuhnya akhlak, tega membunuh keluarga sendiri demi uang?


Polisi menemukan bahwa Sopian memiliki riwayat kriminal ringan sebelumnya, meskipun tidak ada indikasi gangguan jiwa. Kasus ini mirip dengan pola kekerasan domestik di Indonesia, di mana motif harta sering memicu pembunuhan dalam lingkup keluarga, seperti yang terlihat dalam statistik Komnas Perempuan yang mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis ekonomi pasca-pandemi.

Dampak Hukum dan Sosial yang Luas

Proses hukum kasus ini berlangsung dengan cepat namun penuh kontroversi. Sopian dan Dilan dijerat Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman seumur hidup atau pidana mati.

Sidang pertama di Pengadilan Negeri Karawang memanas ketika hakim menyoroti kejanggalan uang hasil jual emas yang hilang, mencapai Rp73 juta. Kuasa hukum saksi kunci bahkan menuduh manipulasi barang bukti oleh penyidik, meskipun polisi membantahnya.

Hingga kini, pada Oktober 2025, persidangan masih berlanjut, dengan tuntutan yang semakin ketat untuk memastikan keadilan bagi korban.

Secara sosial, kasus ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Karawang. Warga Desa Kiarapayung, yang mayoritas bergantung pada pekerjaan buruh pabrik, merasa dikhianati oleh peristiwa yang terjadi di tengah komunitas mereka.

Ini memicu diskusi tentang pentingnya pendidikan anti-kekerasan di keluarga dan dukungan ekonomi bagi lansia. Komunitas setempat menggelar doa bersama untuk Nenek Emot, sementara kasus ini menjadi pengingat bahwa kemiskinan bukan alasan untuk kejahatan, tetapi bisa menjadi pemicu jika tidak ditangani, sebagai contoh kegagalan perlindungan keluarga.

Refleksi: Pelajaran dari Tragedi Maut

Nenek Emot, yang tewas mempertahankan warisannya, meninggalkan pesan bahwa nilai manusia jauh lebih berharga daripada emas dan uang. Kasus ini harus menjadi titik balik, agar pengkhianatan seperti ini tidak terulang di masa depan.

Namun untuk mengingatkan kita semua, saya jadi teringat syair Ronggowarsito, filsuf Jawa, kritikus sosial abad 19 yang mengingatkan masa depan melampaui zamannya. “Eling” (ingat) dan Waspada. Bagaimanakah bersikap menghadapi kehidupan di zaman bobrok, zaman edan sekarang ini.

Mengalami Zaman Edan serba salah dalam bersikap, ikut Edan tidak tahan, tidak ikut Edan tidak kebagian, kelaparan pada akhirnya. Karena kehendak Allah, betapapun beruntung orang yang Edan, lebih beruntung orang yang Sadar, yang Eling dan Waspada. (***Penulis Heigel)