Editorial Cartoon

Editorial Cartoon

Pemerintah Daerah Kab. Karawang, Jawa Barat

Pemerintah Daerah Kab. Karawang, Jawa Barat
Kantor Bupati Karawang

Thursday, December 11, 2025

Awas OTT KPK Bupati Terkait Suap Proyek

 

Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya beserta empat pejabat terjaring OTT KPK terkait dugaan suap proyek. Rabu, 10 Desember 2025. Penangkapan terjadi pukul 20.15 WIB.

Karawang Post – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu datang seperti petir di siang bolong. Ia tidak pernah berisik sebelum terjadi, tetapi begitu meledak, suaranya menggema ke seluruh penjuru negeri.

Setiap kali seorang bupati terjaring OTT terkait suap proyek, publik kembali diingatkan pada satu kenyataan pahit: korupsi di level daerah bukan sekadar cerita lama, melainkan penyakit kronis yang terus berulang dengan pola yang hampir seragam.

Dalam banyak kasus, suap proyek menjadi pintu masuk kejahatan. Proyek infrastruktur – jalan, jembatan, gedung, pengadaan barang dan jasa – yang sejatinya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, justru menjelma menjadi ladang transaksional antara kepala daerah, pejabat teknis, dan pihak swasta.

Bahasa yang digunakan sering kali terdengar “halus”: komitmen fee, uang pelicin, atau tanda terima kasih. Namun di mata hukum, semuanya bermuara pada satu kata: SUAP.

OTT terhadap bupati bukan hanya soal individu yang tergelincir. Ia adalah cermin dari sistem pemerintahan daerah yang rapuh dalam integritas. Bupati, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di daerah, memiliki kewenangan besar dalam menentukan arah pembangunan.

Menurut pengamat sosial politik, Heigel mengatakakn, ketika kewenangan itu diselewengkan, maka dampaknya berlapis: kerugian keuangan negara, kualitas proyek yang buruk, serta hilangnya kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal.

“Yang lebih ironis, banyak bupati yang terjerat OTT adalah produk dari proses politik yang mahal. Biaya pencalonan kepala daerah, Pilkada tidak murah. Dalam konteks ini, proyek sering dijadikan “alat pengembalian modal” sekaligus sumber pendanaan politik lanjutan,” kata Heigel.

“Maka, korupsi bukan lagi kecelakaan, melainkan bagian dari desain kekuasaan yang menyimpang. OTT KPK lalu hadir sebagai alarm keras, sekaligus bukti bahwa praktik ini masih hidup subur.

Namun demikian, setiap OTT juga memunculkan pertanyaan kritis: mengapa peringatan demi peringatan seolah tak pernah cukup? Pendidikan antikorupsi digencarkan, regulasi diperbaiki, sistem pengadaan dibuat lebih transparan, tetapi jerat suap proyek tetap memakan korban dari waktu ke waktu.

Jawabannya mungkin terletak pada budaya kekuasaan yang belum sepenuhnya berubah. Selama jabatan dipandang sebagai akses ekonomi, bukan amanah publik, maka risiko korupsi akan selalu mengintai,” tuturnya.


"Di titik ini, peran KPK menjadi sangat vital. OTT bukan sekadar upaya penegakan hukum, melainkan instrumen pencegah yang paling nyata. Ia mengirimkan pesan tegas kepada para kepala daerah.

Kekuasaan diawasi, dan penyimpangan memiliki konsekuensi. Meski KPK kerap dikritik sebagai “pencitraan”, fakta menunjukkan bahwa OTT mampu membuka praktik gelap yang sulit dibuktikan dengan cara biasa,” jelasnya.

Namun hendaknya lanjut Heigel, kita tidak boleh berhenti pada euforia penangkapan. OTT hanyalah hilir dari masalah panjang di hulu. Pembenahan harus dilakukan secara sistemik.

"Reformasi pembiayaan politik, penguatan pengawasan internal di pemerintah daerah, transparansi pengadaan proyek, serta perlindungan bagi aparatur yang berani menolak dan melaporkan praktik suap. Tanpa itu semua, OTT akan terus menjadi berita rutin, mengagetkan sesaat, lalu dilupakan,” katanya.

"Masyarakat pun memegang peran penting. Publik tidak cukup hanya menjadi penonton yang marah atau sinis setiap kali OTT terjadi. Partisipasi warga dalam mengawasi proyek daerah, mengakses informasi anggaran, dan bersuara kritis terhadap kebijakan yang janggal adalah bagian dari benteng antikorupsi.

Demokrasi lokal yang sehat menuntut warga yang waspada, bukan pasif. Narasi “Awas OTT KPK” sejatinya bukan hanya peringatan bagi bupati, tetapi juga bagi seluruh ekosistem kekuasaan di daerah.

Awas, karena penyalahgunaan wewenang bukan lagi rahasia. Awas, karena hukum masih bekerja. Dan yang terpenting, awas bagi kita semua agar tidak terbiasa menganggap korupsi sebagai takdir yang tak bisa diubah.

Selama proyek publik masih dianggap komoditas politik, selama jabatan masih diperlakukan sebagai investasi, maka OTT KPK akan terus menemukan sasarannya.

Pertanyaannya bukan lagi siapa bupati berikutnya, melainkan kapan kita benar-benar berani membangun sistem yang membuat suap proyek menjadi mustahil, khususnya di Kabupaten Karawang ini,” tutup Heigel. (***TIM)